Pendidikan - Seperti biasa ku jalani rutinitas untuk berangkat ke sekolah dengan semangat keceriaan di pagi hari dan siap untuk memfasilitasi anak didik menyambut masa depan. Materi demi materi pun disampaikan dengan berbagai metode yang telah di sesuaikan dengan kondisi kelas. Tiba saatnya evaluasi dengan memberikan beberapa soal kepada anak didik, selesai dikerjakan langsung dikoreksi bersama di kelas. Sungguh sesuatu yang diluar kebiasaan, capaian ketuntasan hasil evaluasi secara klasikal yang miris menyayat hati. Dari tiga belas anak didik, hanya satu yang berhasil mencapai ketuntasan dan yang lain hanya mencapai 30% saja.
Ilustrasi Proses Pembelajaran di Kelas. foto: http://q.gs/167452/gurusd |
Sebagai fasilitator dalam pembelajaran, aku pun merasa sedih dan terus mengevaluasi diri terhadap proses pembelajaran dan penggunaan metode pembelajaran. Setelah dilakukan analisa mendalam terhadap hal tersebut sehingga dapat direfleksikan bahwa proses pembelajaran berlangsung seperti yang direncanakan.
Analisa berlanjut ke faktor anak didik, dimana karakteristik anak didik yang cenderung malas belajar (entah karena jenuh atau memang sedang tidak prima atau mungkin tidak suka dengan mata pelajarannya) sebagaimana disampaikan oleh rekan guru yang pernah mengampu anak kelas ini.
Tapi aku sadari memang tugas guru untuk dapat mengatasi problematika seperti ini, terlebih disaat kuliah dulu pernah menempuh studi manajemen kelas walau baru sebatas teori.
Ya semoga segera ketemu core pemicu sehingga hasil belajar anak bisa lebih baik kedepannya. Atau mungkin ada di antara pembaca yang memiliki solusi maupun saran untuk dapat mengatasi anak yang malas belajar. Oh ya, mata pelajarannya adalah Matematika.
Terkait dengan kurikulum sekolah yang sedang diterapkan saat ini, untuk kelas yang ku ampu masih menggunakan kurikulum tingkat satuan pendidikan atau KTSP. Tapi untuk kelas 1 dan 4 sedang dicobakan untuk penerapan kurikulum 2013 yang bagi guru pengampu justru dirasakan rumit. Dari model isian buku rapor saja sudah tidak memuat adanya nilai dan semua nilai harus dikonversi ke dalam kalimat-kalimat diskriptif evaluatif. Belum lagi dengan keterlambatan buku ajar yang membuat pendidik kebingungan terhadap materi yang diajarkan serta pola pembelajaran yang harus diterapkan. Rasanya kok belum tepat jika harus menggunakan kurikulum 2013 dan justru terkesan terlalu dipaksakan. Sungguh ironi memang ketika yang di atas menyusun kurikulum tanpa memperhatikan kami yang di bawah, yang menerapkan apa yang disusun mereka tanpa mereka mau peduli atau bahkan melakukannya sendiri!
Kenapa kurikulum 2013 harus ada? Mau dibawa kemana pendidikan negeri ini? Apakah kurikulum 2013 hanya sekedar proyek bagi segelitir pihak saja?
Not only teach but also touch!
Setiap komentar akan dimoderasi terlebih dahulu sebelum tampil, Mengenai tampil dan tidaknya komentar Kamu, itu menjadi hak prerogratif Bung Prapto! No live Link yeach!